Pagi itu, udara dingin menyapaku yang tengah terduduk.Seperti biasa, pagi ini aku sedang menikmati pagi hari, ditemani segelas teh hangat.
Cuaca dingin begini, emang sangat cocok untuk meminum teh panas. Kring, kring, kring.Ketika aku masih asyik menikmati udara pagi, tiba-tiba ponsel yang sedari tadi berada di sakuku berbunyi, menandakan ada panggilan masuk.
Cinta Putus
Dengan sigap, aku merogoh saku jaketku, dan mengambil ponselku.Aku tersenyum ketika membaca nama si penelepon.Ternyata, itu adalah Rio, pacarku. Segera saja, aku menekan tombol hijau.[Halo, Sabrina,] sapa Rio. [Iya, sayang. Wah, kok tumben kamu panggil nama aku langsung?] tanyaku heran.
Karena biasanya pacarku itu selalu memanggil aku sayang. [Nggak apa-apa, Sabrina. Oh ya, aku mau ngomong serius sama kamu,] ucapnya.
[Mau ngomong apa?] tanyaku. [Sebenarnya, aku mencintai wanita lain. Aku nggak bisa sama kamu. Sebaiknya, kita putus aja. Maafin aku.] ucap Rio. [A-apa? Ka-kamu, jahat,] ucapku. Setetes air mata jatuh membasahi pipiku. [Maafkan aku, Sabrina. Tapi, aku udah nggak cinta lagi sama kamu, ] jawab Rio. [Oke, semoga kamu bahagia, Rio. Terima kasih untuk semuanya,] kataku, lalu menutup telepon.Aku luruh ke lantai, air mataku jatuh tanpa diminta.“Ya Allah, aku pikir Rio benar-benar mencintaiku. Ternyata, dia lebih mencintai wanita lain,” ucapku lirih. Perlahan, aku melangkah ke kamar.Ku buka pintu kamar, dan menumpahkan tangisku di sana.
Awalnya, aku pikir Rio lelaki yang tepat untukku. Tapi ternyata, justru dia menyakiti aku seperti ini. Hari itu, adalah hari yang sangat menyedihkan bagiku. Sampai-sampai, aku tidak keluar kamar, dan hanya mengurung diri saja.
Tok tok, tok. Saat aku masih menangisi Rio, terdengarlah suara seseorang yang mengetuk pintu kamarku. “Masuk aja, nggak dikunci kok!” kataku dengan suara serak karena menangis.
Jeglek, Itu Sekar, Kakakku.”Kamu kenapa, Dek?” tanya Kak Sekar sembari mengambil posisi duduk di tepi ranjangku. “Nggak apa-apa, Kak,” jawabku.” Sini cerita sama Kakak, Dek. Jangan menyimpan masalah kamu sendirian,” katanya dengan penuh perhatian.
Aku dan Kak Sekar memang sangat dekat, dan dia sangat menyayangiku. “Ternyata Rio bukan jodoh aku, Kak. Di-dia, dia putusin aku demi cewek lain.” ucapku berurai air mata. Seketika, tangisku kembali pecah.
Kak Sekar memegang tanganku, memberikan kekuatan. “Terkadang apa yang menurut kita yang terbaik, belum tentu, Dek. Allah itu memiliki banyak rencana untuk hamba-hambanya. Mungkin memang tidak sekarang. Tapi percayalah adikku, setelah perpisahan, kelak pasti kamu akan bahagia.
” nasihat Kakakku panjang lebar. Tapi, Kak Sekar benar. Bukankah setelah kesedihan pasti akan ada kebahagiaan? Lalu, mengapa aku harus bersedih berlebihan? Ya, lagi pula Allah tidak menyukai hamba yang menangisi makhluknya. Aku langsung memeluk Kak Sekar dengan erat.
“Iya Kak, Kakak benar. Terima kasih atas nasihatnya ya,” ucapku. “Sama-sama, Dek. Sebagai sesama muslim, hendaknya kita saling menasihati di jalan kebaikan. Percayalah, Allah pasti mengganti Rio dengan lelaki yang lebih baik.” ucap Kak Sekar. “Iya Kak, sekali lagi makasih nasihatnya ya,” kataku.”
Iya, sama-sama. Udah sana, makan dulu gih. Dari tadi siang kamu belum makan loh,” ucap Kak Sekar. Astaghfirullahhaladzim. Karena saking sedihnya, aku sampai nggak makan. “Eh, Kakak tahu dari mana kalau aku belum makan?” tanyaku. “Tadi Bunda cerita Sama Kakak, katanya kamu cuma ngurung diri di kamar.” jawab Kak Sekar.
Kak Sekar memang tidak selalu ada di rumah, karena ia bekerja.Bahkan hari sabtu begini, Kak Sekar masih saja bekerja. Akhirnya, aku dan kakakku keluar kamar.Aku ke dapur, dan ada Bunda di sana. Rupanya bundaku itu sedang mencuci piring. “Bunda,” sapaku.”Eh, Sabrina. Makan dulu, sayang!” titah Bunda.” Oke, Bun,” jawabku. Ku buka tudung nasi dan lauk, ternyata Bunda memasak perkedel dan tempe orek kesukaanku. Masih cukup banyak, karena seharian ini aku tidak makan.
“Makanlah yang banyak, Sabrina. Bunda sengaja memasak makanan kesukaan kamu,” ucap Bunda. “Iya, Bun,” jawabku, lalu segera makan dengan lahap. Seusai makan, aku membereskan piring bekas makanku.Lalu, lanjut shalat isya. Dua hari kemudian, aku bangun pagi-pagi sekali. Ini adalah hari senin, harinya masuk sekolah.”Dek, bareng sama Kakak yuk!” ajak Kak Sekar padaku.
Kak Sekar memang sudah memiliki motor, tentu saja dari hasilnya bekerja. “Ayo, Kak. Sebentar ya, aku ngambil tas dulu,” jawabku. Lalu, aku segera mengambil tas, dan kembali beberapa saat kemudian. “Ayo, Kak!” ucapku mengajak Kak Sekar. Kak Sekar mengangguk. “Pamit ya, Bunda,” ucapku saat menyalami tangan Bunda.
“Iya. Hati-hati, ya,” kata Bunda. “Assalamualaikum,” ucapku dan Kak Sekar. “Waalaikumsalam,” jawab Bunda. Motor yang dikendarai Kak Sekar pun melaju membelah jalanan yang cukup ramai.
Di Sekolah
30 menit kemudian, sampailah aku di sekolah SMA Indah N, tempatku menuntut ilmu. “Makasih udah nganterin, Kak. Aku masuk ya,” ucapku. “Iya, sama-sama,” jawab Kak Sekar.
Perlahan, motor Kak Sekar pergi, meninggalkan sekolahku. Aku berjalan ke kelas, dan di sana sudah ada Olivia, sahabatku. “Haiii, Liv!” sapaku bersemangat. “Hai, Sabrina,” jawabnya.”Eh, kamu punya novel terbaru nggak, Sabrina?” tanya Olivia.
“Belum ada, Liv. Kebanyakan gitu-gitu aja,” jawabku. Sebelum Olivia menjawab, lonceng telah berbunyi. Alhasil, obrolan kami pun terhenti. “Selamat pagi, semua,” sapa Bu Riska, guru di kelasku. “Pagi,” Bu,” jawab kami semua serentak. “Oh ya anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru.” ucap Bu Riska.
Sontak, kelas menjadi riuh. Kalau aku sih, santai aja. Setelah Bu Riska mempersilahkan anak baru itu masuk, kelas pun menjadi hening seketika. Aku juga kaget saat melihat anak baru itu. Karena dari matanya, anak itu tunanetra, atau simpelnya dia tidak bisa melihat.
“Nah, silakan kamu memperkenalkan diri!” perintah Bu Riska. “Halo semua. Perkenalkan, nama saya Sena Aditia. Seperti yang teman-teman lihat, saya tunanetra. Sekian perkenalan diri dari saya. Terima kasih” ucap anak baru yang bernama Sena. “Baik, bangku kamu di belakang ya,” ucap Bu Riska. “Sabrina, tolong bantu Sena ya!” Perintah Bu Riska padaku. “Baik, Bu,” jawabku lalu beranjak mendekati Sena.
“Ayo Sena, biar aku bantuin,” ucapku. “Iya, terima kasih ya,” jawab Sena. Aku pun memegang tangannya, dan ku tuntun dia ke bangkunya. Kebetulan bangku Sena tepat di belakangku. “Nah, di sini bangku kamu. Sama ini mejanya,” ucapku sembari menunjukan meja dan bangku. “Oke. Oh ya, nama kamu siapa?” tanya Sena. “Aku Sabrina,” jawabku.
Entah kenapa, aku sangat senang ketika mengobrol dengan Sena. Setelah itu, kami pun belajar seperti biasanya. Jam istirahat pun tiba, semua orang berhamburan keluar kelas. Tapi, Sena tidak. Ia belum mendapatkan teman.
Dikantin Sekolah
“Sena,” panggilku. “Iya, Sabrina. “Ke kantin, yuk!” ajakku.”Serius kamu mau ke kantin sama aku?” tanya Sena. “Iya dong, mau nggak?” tanyaku.”Mau, ” jawabnya.Aku pun berjalan ke kantin sama dia. “Kamu mau pesan apa?” tanyaku pada Sena. “Mie ayam aja, deh,” jawabnya.
“Bu pesan mie ayamnya dua ya,” ucapku pada Ibu kantin. “Siap, Neng. Di tunggu ya,” jawab Ibu kantin. Sambil menunggu pesanan datang, aku dan Sena mengobrol. “Sabrina, kamu nggak malu gitu temenan sama aku?” tanya Sena. “Ya nggaklah. Ngapain musti malu? Kita kan sama-sama ciptaan Allah.” jawabku.
“Hem, iya sih, “”Oh ya Sabrina, kamu suka baca novel nggak?” tanya Sena. “Suka dong. Emang kamu suka juga?” Aku bertanya penasaran. Tunanetra seperti Sena memang bisa membaca novel, atau mungkin lebih tepatnya mendengarkan novel.
“Ya suka, aku ngevans sama beberapa penulis juga,” jawab Sena. “Wah, aku mau minta rekomendasi ebook dong. Ada, nggak?” tanyaku. Dan begitulah, aku dan Sena semakin akrab. Dia juga nyambung ketika aku ajak ngobrol.
Dan kini seminggu berlalu, dan Sena mulai mendapatkan beberapa teman. Saat jam istirahat, Sena di ajak pergi ke lapangan sekolah oleh temannya. Tapi anehnya, sampai bel hampir berbunyi, Sena tak kunjung kembali. Aku pun menjadi bingung.Entah kenapa, perasaan khawatir menggelayuti batinku. “Ya Allah, kok aku khawatir banget sama Sena ya?” tanyaku dalam hati.
Gudang Kosong
Karena aku takut terjadi apa-apa sama Sena, akhirnya aku memilih mencari dia ke lapangan sekolah. Tapi saat aku ke lapangan, tidak ada siapa-siapa di sana. “Akhirnya, aku pergi ke sebuah gudang kosong. Aku berpikir, siapa tahu Sena ada di sana. Dan, ternyata benar dugaanku. memang ada di sana, berdiri sendirian di depan gudang kosong itu. Gudang itu memang sudah tak terpakai, dan terkunci dari dalam.
Dengan segera, aku menghampiri Sena. “Sena, ngapain kamu di sini?” tanyaku. “Alhamdulillah ada kamu, Sabrina. Tadi, Dimas sama Sandi ninggalin aku di sini. Mana tongkat aku di ambil lagi.” ucap Sena menjelaskan. “Astaghfirullah, jahat banget mereka itu. Ya udah, ayo kita ke kelas!” ajakku.
Ku pegang tangannya, dan aku bawa ke kelas. Entahlah, rasanya aku sedih banget pas lihat Sena di gituin. “Sena, kamu tahu nggak? Kamu itu, di tinggalin di deket gudang kosong. Gudang itu udah lama banget nggak dipakai.” ucapku memberitahu. “Hah? Ya ampun,” Sena tampak terkejut. “Iya, Sena. Besok deh, aku ajakin kamu keliling sekolah ini. Biar kamu tahu letak-letak ruangan, ” ucapku.
“Sabrina, kamu serius?” tanya Sena. “Ya serius dong, masa nggak,” jawabku sambil tersenyum, meski aku tahu, Sena tak akan bisa melihatnya. “Terima kasih ya, Sabrina,” kata Sena. “Iya, sama-sama,” jawabku. Sesampainya di kelas, aku dan Sena pun belajar kembali.
Tumbuh Rasa Cinta
Esoknya, aku benar-benar mengajak Sena keliling sekolah. “Ini ruangan apa, Sabrina?” tanya Sena. “Perpustakaan. Di sini, kamu juga bisa kalau mau dengerin buku lewat hp. “Wah, tenang banget ya suasananya, cocok buat dengerin buku. “Iya, dan jarang juga orang ke sini. Makanya sepi. Tak hanya menunjukan ruangan demi ruangan, aku juga memberitahu letak barang-barang.
“Sena, andai aja kamu tahu. Aku suka sama kamu,” batinku. Ya, aku memang menyukai pemuda tunanetra itu. Aku tak tahu sejak kapan aku mulai ada perasaan padanya. Tapi yang jelas, aku mencintai dia. Tapi aku nggak tahu, apakah Sena juga mencintaiku atau tidak. Kini, Sena sudah memahami letak ruangan yang ada di sekolah.
Malam harinya.Jam menunjukan pukul 20.00 WIB, saat itu aku sedang berkumpul dengan Ayah, Bunda, dan Kak Sekar. Malam ini, aku berencana untuk bercerita tentang Sena dan perasaanku pada Bunda, Ayah, dan Kak Sekar. “Ayah, Bunda, dan juga Kak Sekar, aku mau cerita sesuatu sama kalian,” ucapku. “Mau cerita apa, Sabrina?” tanya Bunda. “Sebenarnya, aku suka sama murid baru di sekolah Sabrina, Bunda, Ayah, Kak Sekar,” ucapku. “Wah, dia sekelas sama Kamu?” tanya Bunda, tampak antusias. “Iya Bun, dia sekelas sama aku. Tapi…” ucapku ragu.
“Tapi apa?” tanya Kak Sekar. Dia tunanetra, Kak. Dia nggak bisa melihat.” jelasku. “Masya Allah, Sabrina. Terus, pemuda itu udah tahu kalau kamu suka sama dia?” tanya Ayah. “Belum, Yah,” jawabku.
“Ayah, Bunda. Apa kalian setuju kalau aku sama Sena?” tanyaku. “Oh, jadi nama dia Sena? Ya kalau Ayah dan Bunda sih merestui kamu sama dia. Selama kamu bahagia, ya nggak apa-apa.” jawab Ayah.Sementara Bunda, iya hanya mengangguk dan tersenyum. “Nggak papa Sabrina, kalau kamu cinta sama dia, Kakak cuma bisa mendukung aja,” ucap Kak Sekar.
Aku senang banget, ternyata Bunda sama Ayah nggak marah. “Terima kasih Ayah, Bunda, Kak Sekar,” kataku. “Iya Nak, sama-sama,” jawab Ayah dan Bunda.”Sama-sama,” kata Kak Sekar. Setelah mengobrol dengan Ayah, Bunda dan Kak Sekar, aku pun kembali ke kamar.
Pertemuan Ditaman Sekolah
Keesokan harinya di sekolah, Olivia menghampiriku. “Hai, Sabrina,” sapa Olivia. “Hai juga, Liv,” jawabku. Tak lama kemudian, Sena pun datang. Iya, dia memang selalu berjalan sendiri ke kelas. Melihat dia datang, aku pun memanggilnya.”Halo, Sena, ” Aku menyapanya. “Halo juga, Sabrina,” jawab Sena.
teng, teng.Bel sudah berbunyi, kami menghentikan obrolan. Guru masuk, dan pelajaran pun dimulai. Jam istirahat pun tiba. “Sabrina, ke taman sebentar yuk!” ajak Sena. “Ngapain?” tanyaku. “Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” jawab Sena. Akhirnya, aku dan Sena pergi ke taman sekolah.
“Jadi, kamu mau ngomong apa?” tanyaku, sesampainya di taman. “Sabrina, mungkin ini terlalu cepat. Tapi, aku harus ngomong ini sama kamu. Sebenarnya, aku suka sama kamu. Sejak kita bertemu, menurutku kamu perempuan yang baik.” ucap Sena. Aku tersenyum mendengarnya. Ternyata, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. “Sena, aku juga suka sama kamu,” kataku. “Kamu serius?” tanya Sena. “Iya, aku serius,” jawabku. “Tapi, kamu nggak papa dengan keadaanku yang tunanetra ini?” tanya Sena. “Nggak masalah, bahkan, aku udah bilang juga sama orang tuaku,” jawabku.
“Jadi, mulai sekarang kita pacaran ya?” tanya Sena. “Iya,” jawabku. Setelah aku dan Sena berpacaran, beberapa hari kemudian aku mengenalkannya pada keluargaku. Begitupun Sena, dia juga mengenalkan aku pada keluarganya. Aku sangat bahagia. Ternyata benar, setelah perpisahan, pasti akan ada kebahagiaan. Allah memberikan lelaki yang lebih baik dari Rio.
Tamat.
Pingback: MASA Super App, Inovasi Digital Muhammadiyah untuk Umat Modern - Berbagi Karya